Saat ini, pekerjaan konvensional yang sifatnya formal semakin berkurang karena muculnya pergeseran pola dalam bekerja. Gig economy merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menggambarkan pergeseran pola pekerjaan yang based on-demand dan skill specialization. Hal ini menyebabkan adanya perubahan fundamental dalam tatanan kehidupan yang utamanya dialami oleh pemuda yang tengah memasuki dunia kerja. Gig economy lahir pada Generation Y yang berkisar antara tahun 1980-1994, serta masuk secara masif pada Generasi Z diantara tahun 1995 – 2009 dimana generasi ini akan menjadi pihak yang akan bertransformasi langsung peralihan dari workers menjadi digital labour.
Adanya pergeseran cara pandang pemuda terhadap keinginan mereka untuk bekerja, didorong atas fleksibilitas dan kemandirian dimana mereka dapat menegaskan lebih banyak kontrol, waktu, tempat dan bagaimana mereka bekerja (Parsolkelly, 2018). Pergeseran ini dapat memiliki manfaat ekonomi nyata dengan meningkatkan partisipasi angkatan kerja, menstimulasi konsumsi, menyediakan peluang bagi para penganggur, dan meningkatkan produktivitas (McKinsey Global Institute,2016). Pemberian upah dari cara kerja gig economy ini berdasarkan tugas, penugasan, atau penjualan. Penerima independen dibayar oleh tugas, penugasan, kontrak, atau volume penjualan yang mereka lakukan. Tidak seperti karyawan yang digaji, mereka tidak dibayar untuk waktu yang tidak dihabiskan untuk bekerja. Hubungan jangka pendek antara pekerja dan pelanggan dilakukan secara jangka pendek seperti menjadi seorang driver, mendesain situs web, atau mengerjakan project event yang menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan generasi Y dan Z.
Di Indonesia sendiri, adanya bonus demografi menjadikan fenomena gig economy memberikan dampak positif untuk perekonomian secara makro karena menciptakan lapangan kerja. Gig economy menjadi solusi keterbatasan lapangan pekerjaan karena mereka tumbuh tanpa dibebani masalah ketenagakerjaan. Sehingga, banyak perusahaan rintisan atau startup yang memulai usahanya dari para pekerja freelance yang tidak terikat kontrak.
Disisi pekerja, keunggulan dari menjadi bagian gig worker adalah fleksibilitas. Kapan lagi bebas memilih waktu dan tempat bekerjamu? Kalau Sobat JDVers sendiri lebih suka bekerja formal di kantor atau mulai tertarik menjadi bagian dari gig worker? (/Afn)
Referensi :
McKinsey Global Institute. 2016. Independent work: Choice, necessity, and the gig economy. [Daring] Diakses dari https://www.mckinsey.com/featured-insights/employment-and-growth/independent-work-choice-necessity-and-the-gig-economy pada 10 Maret 2019
Parsolkelly. 2018. 2018 APAC WORKFORCE INSIGHTS Gig Economy: How Free Agents Are Redefning Work, Australia [Daring] Diakses dari https://www.kellyservices.com.au/gig-economy-how-free-agents-are-redefining-work pada 10 Maret 2019
]]>Menjadi Remote worker akhir-akhir ini menjadi tren di dunia kerja, terutama bagi para freelancer, agency, maupun startup. Kehadiran teknologi seperti Slack, Skype, dan Trello juga terbukti dapat memperlancar alur kolaborasi antar pekerja.
Menurut data dari Ipsos, sistem bekerja remote dipilih oleh 27 % pekerja di Timur Tengah dan Afrika, 25 % karyawan di Amerika Latin, 24 % pekerja di Asia Pasifik dan 9 % pekerja di Eropa. Indonesia sendiri bahkan tak luput menjadi sasaran dari tren tersebut. Dari data Ipsos Australia menunjukkan sekitar 34 % pekerja di Indonesia memilih menjadi tenaga kerja remote. Angka tersebut menjadi angka kedua terbesar setelah India (56 %) dalam hal telecommuting/remote work di dunia.
Dampak Positive Bekerja Remote
Seperti hal lain pada umumunya, bekerja remote memiliki sisi positif dan sisi negativ. Salah satu sisi positif bekerja remote adalah dapat meningkatkan produktivitas kerja. Hasil penelitian dari Stanford menunjukkan bahwa ada peningkatan produktivitas pada para pekerja remote dari pada pekerja kantor. Hal ini terjadi karena para pekerja remote tidak harus menerjang kemacetan jalanan untuk masuk kantor atau tidak perlu bolak-balik ke rumah jika ada keperluan mendadak.
Selain itu, karena minimnya sosialiasi antar karyawan, bekerja remote dapat menurunkan gesekan antar karyawan. Dengan begitu, tindakan seperti bullying, gossip, drama kantor, atau saling sikut promosi jabatan dapat ditekan bahkan dihindari.
Dari sisi pemilik perusahaan juga dapat menghemat setengah biaya operasi jika menerapkan remote working. Di negara Amerika sendiri, remote working dapat memangkas biaya karyawan hingga USD 1.400 per karyawan.
Dampak Negativ Bekerja Remote
Meski begitu, tantangan terbesar dari bekerja remote adalah pekerja menjadi terlalu sibuk bekerja sampai akhirnya mengabaikan kehidupan pribadi. Biasanya para pekerja remote berhasil mengalahkan tantangan ini dengan mengatur jadwal untuk bersosialisasi (dengan keluarga, teman dan tetangga), meluangkan waktu untuk kesenangan diri mereka sendiri dan berolahraga.
Tantangan lainnya adalah mudah kehilangan fokus. Hal ini dikarenakan tempat kerja yang dekat dengan kehidupan pribadi. Terlebih jika bekerja di rumah, perlu ditetapkan ruangan khusus untuk menyelesaikan pekerjaan. Maka kita harus benar-benar mengatur tempat kerja kita senyaman dan sekondusif mungkin.
Saat bekerja remote, kita akan sangat rentan untuk melampaui batas deadline (keteteran) jika kita tidak bisa mengatur waktu dengan sangat baik. Perlunya koordinasi antar tim akan sangat membantu menyelesaikan pekerjaan. Namun, rendahnya intensitas komunikasi antar tim juga akan berujung pada buruknya kerja sama serta manajemen kerja dalam suatu pekerjaan.
Salah satu bentuk remote working adalah workcation atau kerja sambil liburan. Dengan workcation kamu dapat work-life balance sekaligus tetap produktif kerja,
Selama tidak mengganggu kinerja, kesehatan, dan quality time, rasanya tidak masalah bekerja dengan sistem remote. Bagaimana menurut Sobat JDV? (Zedd)
Sumber:
https://male.co.id/detail/6753/tren-bekerja-remote-menguntungkan-atau-merugikan-men-scope-4
http://www.digination.id/read/013307/jangan-ketinggalan-ini-tren-dunia-kerja-di-2019
https://dailysocial.id/post/ini-seninya-bekerja-secara-remote
]]>Sobat JDV, masih ingat kekuatan sinyal ketika pertama kali kamu menggunakan internet?
Di awal tahun 90 an atau di akhir tahun 80 an, kecepatan internet baru menyentuh 56,6 kbps atau 20.000 kali lebih lambat dari kecepatan rata-rata di smartphone yang kita gunakan sekarang. Bagi kita yang mengalami sendiri sepulang sekolah mengirim file playlist lagu favorit dengan infrared, menyimpan file di disket atau CD, internet merupakan sebuah penemuan besar. Sampai saat ini, internet bahkan sudah berkembang sebanyak 1000% dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.[1]
Internet merupakan pintu gerbang sebuah revolusi industri baru setelah mengalami tiga periode industri. Ketika Revolusi Industri Pertama menggunakan tenaga air dan uap untuk memekanisasi produksi, Revolusi Industri Kedua beralih menggunakan tenaga listrik untuk membuat produksi massal. Lain halnya dengan Revolusi Industri Ketiga yang menggunakan elektronik dan teknologi informasi untuk mengotomatisasi produksi. Dengan Internet, Revolusi Industri Keempat atau Revolusi Digital muncul dengan digitalisasi produksi.[2] Revolusi yang lahir pada pertengahan abad terakhir ini kemudian ramai diperbincangkan dengan istilah Konsep Revolusi Industri 4.0 yang pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Klaus Schwab, Ekonom terkenal asal Jerman dalam bukunya, The Fourth Industrial Revolution.[3]
Sebagai generasi yang sedang dan akan menghadapi revolusi digital, maka kita harus bersiap sedini mungkin untuk dapat terus survive di tengah persaingan global. Setidaknya ada 5 alasan utama, mengapa kita harus bersiap menghadapi Revolusi Industri 4.0 ini:
1.Kemunculan Internet of Things (IoT)
Secara sederhana, istilah Internet of Things menjelaskan bahwa benda-benda di sekitar kita dapat terhubung dan berkomunikasi antara satu sama lain melalui jaringan internet. IoT sangat popular digunakan di dunia bisnis, karena dapat memberikan insight untuk mengetahui perilaku konsumen, operasional usaha, serta produk yang bisa ditawarkan. Dengan begitu, sebuah perusahaan dapat menekan biaya produksi dan dapat lebih mobile dalam proses follow up data.[4]
2. Penggunaan Artificial Intelligence
Artificial Intelligence (AI) sudah mulai diciptakan sejak abad ke 17 oleh para ilmuwan matematika dunia. Namun teknologi AI dipopulerkan kembali oleh Christopher Strachey dari University of Manchester, United Kingdom, programmer pertama yang menuliskan AI pada mesin Ferranti Mark I pada tahun 1950 an. Saat ini, berbagai bentuk Artificial Intelligence sudah mulai diluncurkan. Mulai dengan Micorosoft yang menciptakan Cortana, Apple mempunyai Siri, maupun Google yang mengembangkan Google Talk. Di Indonesia, AI sendiri sudah berkembang dalam bentuk chatbot atau robot yang mampu mewakili sebuah aktivitas obrolan dua arah.[5]
3. Kemampuan Analisis dengan Teknologi Big Data
Data menjadi mata uang ke dua setelah uang di masa mendatang. Dengan data yang terhimpun dan dimiliki, sebuah perusahaan dapat memberikan pelayananan maksimal, tepat, dan privat bagi pelanggannya. Fenomena Big Data, dimulai pada tahun 2000-an ketika seorang analis industri Doug Laney menyampaikan konsep Big Data yang terdiri dari: Volume, Kecepatan, Variasi, Variabilitas dan Kompleksitas.[6] Dengan Big Data, data internal dan eksternal dapat diolah dan dianalisa untuk memberikan solusi bisnis seperti: Efisiensi biaya dan waktu, pengembangan dan optimalisasi produk hingga pengambilan keputusan.
4. Pergeseran Kebutuhan Skill
Lima tahun dari sekarang, lebih dari sepertiga keterampilan (35%) yang dianggap penting dalam angkatan kerja hari ini akan berubah. Dimulai pada tahun 2020, Revolusi Industri Keempat akan membawa kita ke era robotika canggih, transportasi otonom, kecerdasan buatan bioteknologi dan genomik. Jika kita tidak segera upgrade skill yang telah kita miliki sekarang, bersiaplah jika suatu saat tenaga kita akan tergantikan oleh mesin.[7]
5. Tingkat Keamanan Data di Internet
Dengan semua integrasi data ke internet, maka pengamanan data yg kita unggah pun perlu dipersiapkan. Bahkan, Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara telah menyatakan bahwa saat ini, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap keamanan siber masih sangat rendah Dilihat dari Index Security, frekuensi Indonesia diserang peretas masih di atas rata-rata dibanding negara lain di dunia.[8]
Bagaimana dengan Sobat JDV? Sudah seberapa aman kah tingkat keamanan data yang kamu unggah saat ini?
Memang, perkembangan teknologi tidak bisa kita bendung. Mau tidak
mau, suka atau tidak, kita akan larut dalam arus kemajuan teknologi di masa
mendatang. Kita tidak bisa mundur, tidak bisa pula menyangkal atau menghindar.
Meski begitu, Sobat JDV tidak perlu merasa pesimis. Kita bahkan bisa menguasai
masa depan jika kita dapat beradaptasi dengan cepat dan terus mengasah diri. Semangat!
[1] Ian Khan, Ted Talk x Mississauga, 1 Agustus 2017
[2] https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-fourth-industrial-revolution-what-it-means-and-how-to-respond
[3] https://www.weforum.org/about/the-fourth-industrial-revolution-by-klaus-schwab
[4] https://www.sirclo.com/blog/2017/07/internet-of-things-dan-dampaknya-terhadap-bisnis
[5] https://www.republika.co.id/berita/trendtek/internet/17/01/18/ojyir0359-mengenal-artificial-intelligence-kecerdasan-teknologi-yang-lebih-komprehensif
[6] https://www.codepolitan.com/mengenal-big-data
[7] https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-10-skills-you-need-to-thrive-in-the-fourth-industrial-revolution/
[8] https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20171206162248-185-260555/kesadaran-keamanan-siber-indonesia-peringkat-ke-70-dunia
]]>
Ekonomi kreatif muncul karena era informasi yang berlimpah, menjadikan kreativitas yang mengandalkan ide dan pengetahuan menjadi bahan baku utama dari terciptanya proses ekonomi. Di Indonesia sendiri, ekonomi kreatif telah menyasar pada skala UMKM. Pengembangan Ekonomi tidak lagi hanya berpaku pada kegiatan produksi barang atau jasa industri yang faktor produksinya utamanya dalah bahan baku materi mentah. Muncul pergeseran ekonomi yang menjadikan seni, musik, makanan, budaya dan pariwisata menjadi ide atau gagasan yang merupakan bahan baku dalam era yang kita sebut sebagai ekonomi kreatif, dimana sinergitas dan kolaborasi berbagai sektor merupakan suatu kebutuhan.
Istilah “Ekonomi Kreatif” mulai dikenal secara global sejak munculnya buku “The Creative Economy: How People Make Money from Ideas” (2001) oleh John Howkins. Dalam bukunya, ia menyatakan bahwa ‘ide’ saat ini merupakan hal berharga, sehingga munculah apa yang dinamakan dengan Hak Kekayaan Intelektual.
Ekonomi kreatif sendiri bertujuan meningkatan pendapatan, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan ekspor, keragaman budaya, dan pengembangan manusia. Selain itu ide yang diproduksi memiliki tujuan yang tidak terbatas dalam bidang tertentu. Menyertakan aspek sosial, budaya, dan ekonomi dalam pengembangan teknologi, Hak Kekayaan Intelektual, dan pariwisata merupaka kunci dalam kesuksesan ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif dapat menjadi wadah dalam menghubungkan berbagai bidang aktivitas ekonomi yang saling bekerjasama.
Upaya mewujudkan ekonomi kreatif, memerlukan kolaborasi antara berbagai pihak antara lain kaum intelektual, dunia usaha, dan pemerintah yang menjadi stakeholders yang berbasis pada ide atau gagasan.
Pencapaian sektor ekonomi kreatif di Indonesia pada tahun 2018 lalu, didorong oleh tingginya penetrasi internet dan teknologi digital di Indonesia. Ada 143,26 juta pengguna internet di Indonesia yang 63,5% diantaranya melakukan transaksi online. Selain itu ada 130 juta orang di Indonesia yang mnggunakan media sosial. Hal tersebut selain berhasil meningkatkan pencapaian ekonomi kreatif di Indonesia pada tahun 2018 juga berhasil membuat Indonesia mencatatkan empat start-up sebagai unicorn dari tujuh unicorn yang ada di kawasan Asia Tenggara (Bekraf, 2018)
Keberhasilan tersebut tentunya tidak akan tercapai tanpa melibatkan aspek masyarakat beserta potensi keberagaman budayanya. Mulai dari kesadaran pentingnya teknologi, potensi keberagaman dan keunikan budaya Indonesia selalu bisa dijadikan ide segar.
Tunggu apa lagi? Yuk gali potensi keunikan Indonesia dan ciptakan kreativitas! (/Afn)
Sumber :
https://bapenda.jabarprov.go.id/2017/05/24/apa-itu-ekonomi-kreatif/
http://indonesiakreatif.bekraf.go.id/ikpro/programs/apa-itu-ekonomi-kreatif/
]]>